Teungku Pertama Belajar Musik ke Luar Negeri?

“TENGKOE DARI LANGKAT KE MANILA-Untuk keperluan studi diberitahukan bahwa Tengkoe Abu Bakar, seorang tengkoe dari Langkat, berniat berangkat ke Manila (Filipina) awal tahun depan untuk melanjutkan studinya dalam bidang musik di konservatori. Untuk mewujudkan itu, Said tengkoe sudah memulai pelatihannya di sini (Langkat) lima tahun lalu, di mana ia diajar oleh musisi yang terikat dengan salah satu hotel lokal. Dia juga mengambil pelajaran biola dengan pemain biola Tan dan kemudian melanjutkan studi ini dengan pemain biola Itali dari Delphi Hotel di Singapura. Sejauh yang kami tahu, Tengkoe ini menjadi yang pertama di Pantai Timur untuk belajar musik di luar negeri.”

Nah, itu satu paragraf berita dari De Sumatra Post tahun 1933.
Ternyata, kredibilitas sumber dari koran itu memang perlu diselidiki bak detektif, lewat berbagai lapisan sumber-sumber ilmiah sejarah. Tidak hanya terkait soal ‘fallacy’ narasi dan iliterasi jurnalisnya tapi juga soal latar belakang kultur-politik media saat itu. Salah satu kultur itu adalah integrasi kultur politik lunak (soft power) yang menguntungkan superioriti dan hierarki ras.
Misalnya, hanya dari satu paragraf sumber primer diatas itu, kita perlu bertanya, apakah betul Tengkoe Abu Bakar orang Sumatra Utara pertama yang belajar musik ke luar negeri?. Kalau jawaban Anda iya atau barangkali maka itu tanda awal pengakuan bahwa kawasan ini baru tersentuh pada dunia seni barat pada masa kolonial dan itu artinya pengiyaan pada nilai buruk diatas itu.
Margaret Kartomi (2012), mengutip keterangan Lance Castle, mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda dari abad ke 17 diarak-araki dengan banyak pemain biola. Juga mengutip karya Snouck Hurgronje yang terbit tahun 1906, bahwa orang-orang Aceh peminat kental biola dan banyak yang bisa bermain dengan piawai, termasuk sultan terakhir, Muhammad Daud Syah yang diakui sebagai pemain biola handal. Ini menurut Schmid yang bertugas sebagai kontroleur di Aceh timur tahun 1923.
Jadi biola itu interaksi lokal pada biola itu sudah ada dalam tradisi seni Sumatra-Indonesia, warisan keluwesan jaringan dagang dan politik masa itu sebelum company-company dagang Inggris dan Belanda atas nama ‘ peace and order’ menjual senjata dan tentaranya untuk mengendalikan sengketa internal dalam negeri.
Yah, meskipun begitu, soft power politik lewat dunia hiburan Eropa cukup kuat hingga menjadi bagian dari identitas Indonesia pasca kemerdekaan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―