Wabah Hantu Kolonial

Dalam sepuluh tahun terakhir Islamophobia dan rasisme mewabah secara global, dari Amerika, Eropa hingga yang baru baru ini hangat mewarnai panggung-panggung media; India, Malaysia dan Indonesia (Papua).
 

Kedua wabah ini menurut beberapa pengamat adalah wabah politik dan sosial yang akarnya rentan sejak periode kolonial. Saat Presiden Amerika Donald Trump dan kelompoknya menjustifikasi narasi dan kebijakan Islamophobik dan rasisnya, saduran utamanya adalah ‘fakta’ sejarah.


Dalam salah satu kelas Musim Panas yang diadakan oleh Ilem di Uskudar bulan awal agustus lalu yang berjudul American Muslim Responses to Anti Muslim Hostility: an Intersectional Analysis (Respons Muslim Amerika terhadap Kebencian anti Muslim: sebuah analisa Interseksional), Prof. Julianne Hammer mengatakan bahwa topik kolonialisme adalah hal yang sensitif untuk dikulik bagi penyimak-penyimak Barat. Banyak juga yang percaya bahwa kolonialisme terjadi karena negara-negara tersebut “colonizedable”, artinya terdapat semacam justifikasi terhadap kolonialisme dan apapaun yang menyertai periode ini, termasuk permainan mental; bangsa Eropa superior dan pribumi inferior yang dilakukan oleh leluhurnya demi genggaman penuh terhadap keuntungan ekonomi dan kontrol politik.

 

 

 
Hal sama juga terlihat dalam perkembangan narasi Islamophobia yang digunakan Perdana Menteri India, Narendra Modi. Juga polemik ras pribumi yang sedang kita saksikan di Malaysia. Untuk negara terakhir ini, ceramah-ceramah Zakir Naik yang dinilai tidak toleran dengan keberagaman Malaysia, barangkali adalah bumbu pelengkapnya.
 
Oleh karena itu tidak aneh jika saya berpendapat bahwa ini adalah wabah hantu kolonial yang sedang diupayakan bangkit, menuju perang.
 
Mental game yang saya sebut diatas saat ini berupa Islamophobia dan rasisme yang merupakan hasil bangunan literatur-literatur ilmiah yang diklaim berdasarkan fakta dan analisa ilmu sosial. Studi karakter orang-orang pribumi misalnya dipelajari dengan memakai alat ukur tertentu yang diklaim menghasilkan kebenaran tingkat meyakinkan. Narasi-narasi yang dibangun pada masa lalu inilah yang dipakai kelompok-kelompok Islamophobik dan rasist didunia untuk menjustifikasi ide kebenciannya.
Salah satu contoh misalnya, adalah berdasarkan ucapan Van Swieten, Mayor Jenderal yang mengomandoi ekspedisi perang ke 2 Aceh tahun 1874. Dalam diarinya berjudul, De Waarheid over onze vestiging in Atjeh yang terbit tahun 1879 ia mengatakan:
 
“De moraal hier uit te putten, is dat het niet opgaat, dat een volk, al is het ook zoo onbeschaafd als de atjehers, on vatbaar zoude zijn voor goede procedes, en allen door geweld brandstichting en verwoesting zijner bezittingen tot onderwerping te brengen is.”
 
Secara bebas, paragraph ini bermakna bahwa untuk kepentingan menancapkan peradaban di Aceh, mengerahkan pasukan dan kemiliteran yang handal tak perlu menjadi masalah. Artinya, pemahaman seorang Jan Van Swieten terhadap masyarakat Aceh adalah bahwa mereka tidak beradab. Standard peradaban yang diterima dan ‘dipaksakan’ saat itu hanyalah standard Eropa. Beberapa dekade sebelum perang melawan Aceh berkecamuk, negeri negeri lainnya di Asia dan Afrika telah lebih dulu menyaksikan paksaan-paksaan label inferioritas yang dibangun dengan ‘science’.
 
Science dan peradaban punya nilai pasar yang tinggi. Dengan bertopengkan dua hal itu, image positif yang menguntungkan mampu menuai laba imperialisme yang besar. Hal senada dikatakan oleh Elsbeth Lochter Scholten dalam kajiannya soal kebijakan etik Belanda di Indonesia, atau analisanya Farish A Noor dalam bukunya The Discursive Construction of Southeast Asia in 19th Century Colonial-Capitalist Discourse yang terbit tahun 2016 lalu.
 
Meskipun pada realita masih banyak yang perlu dibenah dalam negara-negara Muslim bekas jajahan itu, Islamophobia dan rasisme adalah hal yang telah terbukti menggagalkan umat manusia dalam sejarah. Pengakuan akan kesalahan selama masa kolonial, terkait bentuk karakter yang dibangun pada zaman itu, se-scientific apapun, adalah penting. Ini tentu harus dibarengi dengan advokasi kampus, pendidikan dan peningkatan literasi masyarakat bersangkutan. Ini demi menurunkan gejolak perpecahan dan anarkisme yang semakin tinggi menghiasi halaman-halaman media di dunia
 
 
 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―