Dalam dinamisme sejarah Aceh, banyak ahli ahli ilmu sosial
setuju bahwa Aceh punya karakter tersendiri yang membedakan wilayah
ini dengan wilayah lainnya. Salah satunya barangkali bisa dilihat dari peran
uleebalang dan orang kaya dalam membentuk tatanan pemerintahan dan sosial
kesultanan Aceh yang tidak bisa diabaikan. Kelompok ini dipercayai
sebagai bagian dari suara yang mewakili rakyat sipil Aceh. Melalui
mereka rakyat punya kekuasaan untuk mendukung atau menggulingkan pemerintahan.
Melalui mereka rakyat bisa meregulasikan aturan-aturan perdagangan sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan pasar dan persediaan alam. Kuatnya
peran kelompok ini bisa dilihat pada abad ke-18. Ketika tampuk kepemimpinan
begitu lemah, kedua kelompok ini menjadi pihak yang paling ditakuti
oleh Sultan dan lingkaran-lingkarannya.
setuju bahwa Aceh punya karakter tersendiri yang membedakan wilayah
ini dengan wilayah lainnya. Salah satunya barangkali bisa dilihat dari peran
uleebalang dan orang kaya dalam membentuk tatanan pemerintahan dan sosial
kesultanan Aceh yang tidak bisa diabaikan. Kelompok ini dipercayai
sebagai bagian dari suara yang mewakili rakyat sipil Aceh. Melalui
mereka rakyat punya kekuasaan untuk mendukung atau menggulingkan pemerintahan.
Melalui mereka rakyat bisa meregulasikan aturan-aturan perdagangan sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan pasar dan persediaan alam. Kuatnya
peran kelompok ini bisa dilihat pada abad ke-18. Ketika tampuk kepemimpinan
begitu lemah, kedua kelompok ini menjadi pihak yang paling ditakuti
oleh Sultan dan lingkaran-lingkarannya.
Gelombang Kekuasaan Lunak
Eropa
Eropa
Kebalikan dari apa yang diasumsikan oleh sebagian
sejarawan, saya berpikir uleebalang dan orang kaya pada abad ke-18 terutamanya,
melancarkan aksi-aksi perlawanan terhadap Sultan bukan hanya dikarenakan
tekanan-tekanan dari regulasi pajak yang diterapkan oleh kesultanan
tapi juga disebabkan dengan ketidaksiapan kesultanan menghadapi peralihan kuasa
jaringan dagang di Aceh dari yang sebelumnya dipegang secara dominan
oleh pedagang pedagang muslim dari India, Arab, Persia, dan Turki yang tidak hanya
mempengaruhi warna kesultanan dengan gaya ekonomi Islamnya tapi juga mempengaruhi
gaya perpolitikan kesultanan, beralih ke komunitas Eropa yang sejak
abad ke-18 telah menguasai pelabuhan pelabuhan kunci di Asia Tenggara termasuk
di Sumatra seperti di Bengkulu, Natal, Tapanuli, dan perairan Aceh. Ini bisa
dilihat dari dampak persaingan-persaingan monopoli pasokan lada dari Aceh
antara Inggris, Belanda, Amerika, dan Perancis. Persaingan semakin
meningkat dan buruk ketika uleebalang dan orang kaya mengaktifkan pelabuhan
baru di perairan Pidie dan dilanjutkan dengan pembukaan lahan penanaman lada di
perairan Barat.
sejarawan, saya berpikir uleebalang dan orang kaya pada abad ke-18 terutamanya,
melancarkan aksi-aksi perlawanan terhadap Sultan bukan hanya dikarenakan
tekanan-tekanan dari regulasi pajak yang diterapkan oleh kesultanan
tapi juga disebabkan dengan ketidaksiapan kesultanan menghadapi peralihan kuasa
jaringan dagang di Aceh dari yang sebelumnya dipegang secara dominan
oleh pedagang pedagang muslim dari India, Arab, Persia, dan Turki yang tidak hanya
mempengaruhi warna kesultanan dengan gaya ekonomi Islamnya tapi juga mempengaruhi
gaya perpolitikan kesultanan, beralih ke komunitas Eropa yang sejak
abad ke-18 telah menguasai pelabuhan pelabuhan kunci di Asia Tenggara termasuk
di Sumatra seperti di Bengkulu, Natal, Tapanuli, dan perairan Aceh. Ini bisa
dilihat dari dampak persaingan-persaingan monopoli pasokan lada dari Aceh
antara Inggris, Belanda, Amerika, dan Perancis. Persaingan semakin
meningkat dan buruk ketika uleebalang dan orang kaya mengaktifkan pelabuhan
baru di perairan Pidie dan dilanjutkan dengan pembukaan lahan penanaman lada di
perairan Barat.
Ketika pelabuhan Pidie menarik banyak pedagang, terutama
pedagang-pedagang Eropa, uleebalang dan orang kaya dikawasan ini melakukan
pertentangan keras ketika Sultan mencoba menancapkan aturannya disana.
Diketahui kemudian pemberontak-pemberontak Pidie dilengkapi dengan senjata yang dipercayai
diperoleh dari salah satu rekan dagang internasionalnya. Untuk menghadapi
pemberontak-pemberontak ini Sultan melakukan kerjasama dengan Perancis. Dilain
waktu, berkali kali Sultan mencoba menukarkan pasokan lada dengan kapal perang
dan perlengkapan senjata dari Inggris untuk menangani uleebalang-uleebalang yang memberontak
dikawasan ini. Bahkan ketika perdagangan dipesisiran Barat meningkat pesat
dibawah komando raja lokal yang diperselisihkan ketundukannya kepada
Sultan, baik Sultan maupun uleebalang ditempat itu meminta pertolongan bantuan
pada Eropa. Pihak dipesisiran Barat meminta bantuan dari Inggris yang memiliki
pos dan pabrik di Bengkulu, Natal, dan Tapanuli. Sedangkan Sultan memperolah
bantuan dari Amerika.
pedagang-pedagang Eropa, uleebalang dan orang kaya dikawasan ini melakukan
pertentangan keras ketika Sultan mencoba menancapkan aturannya disana.
Diketahui kemudian pemberontak-pemberontak Pidie dilengkapi dengan senjata yang dipercayai
diperoleh dari salah satu rekan dagang internasionalnya. Untuk menghadapi
pemberontak-pemberontak ini Sultan melakukan kerjasama dengan Perancis. Dilain
waktu, berkali kali Sultan mencoba menukarkan pasokan lada dengan kapal perang
dan perlengkapan senjata dari Inggris untuk menangani uleebalang-uleebalang yang memberontak
dikawasan ini. Bahkan ketika perdagangan dipesisiran Barat meningkat pesat
dibawah komando raja lokal yang diperselisihkan ketundukannya kepada
Sultan, baik Sultan maupun uleebalang ditempat itu meminta pertolongan bantuan
pada Eropa. Pihak dipesisiran Barat meminta bantuan dari Inggris yang memiliki
pos dan pabrik di Bengkulu, Natal, dan Tapanuli. Sedangkan Sultan memperolah
bantuan dari Amerika.
Perlu dilakukan kajian terpisah terkait alasan apa sebenarnya yang membebaskan
perlawanan terhadap Sultan. Berdasarkan fakta-fakta yang disadur dari
laporan-laporan Jenderal dan pendatang-pendatang Barat seperti Thomas Forrest,
terdapat perubahan pandangan kesultanan terhadap perkembangan Eropa. Jika pada
abad ke-16 hingga abad ke 17 kesultanan Aceh secara konsisten melawan agresi
Portugis di perairan Selat Melaka dan mengetatkan kebijakan-kebijakan dagangan
mereka di territorial atau setidaknya ketika masa pemerintahan 4 ratu,
perdagangan dengan Eropa dibiarkan berjalan dibawah pengawasan uleebalang dan
orangkaya dan minim intervensi dari Kesultanan. Abad ke-18 menjadi periode
dimana Sultan Aceh melunak dan memberikan kesempatan ekonomi dan politik yang lebih
besar untuk kepentingan mereka disini. Bahkan Sultan kemudian mengangkat orang
Eropa sebagai penasehatnya dimana sebelumnya dipegang oleh majoritas Muslim
dari India dan Arab.
perlawanan terhadap Sultan. Berdasarkan fakta-fakta yang disadur dari
laporan-laporan Jenderal dan pendatang-pendatang Barat seperti Thomas Forrest,
terdapat perubahan pandangan kesultanan terhadap perkembangan Eropa. Jika pada
abad ke-16 hingga abad ke 17 kesultanan Aceh secara konsisten melawan agresi
Portugis di perairan Selat Melaka dan mengetatkan kebijakan-kebijakan dagangan
mereka di territorial atau setidaknya ketika masa pemerintahan 4 ratu,
perdagangan dengan Eropa dibiarkan berjalan dibawah pengawasan uleebalang dan
orangkaya dan minim intervensi dari Kesultanan. Abad ke-18 menjadi periode
dimana Sultan Aceh melunak dan memberikan kesempatan ekonomi dan politik yang lebih
besar untuk kepentingan mereka disini. Bahkan Sultan kemudian mengangkat orang
Eropa sebagai penasehatnya dimana sebelumnya dipegang oleh majoritas Muslim
dari India dan Arab.
Terlepas dari keberadaan kampong Inggris di Aceh yang telah
ada sejak tahun 1688, perubahan pandangan terhadap Eropa barangkali semakin
terbentuk ketika masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah antara tahun 1781
hingga 1795. Ia tercatat sebagai seorang Sultan yang mampu berbahasa
Prancis dan Portugis. Ia juga dapat membaca dan mengerti bahasa Arab. Buku yang ditulis
oleh Voltaire, seorang novelis satiris Prancis yang terkenal pernah
disuguhkan dan dibaca oleh Sultan. Ini menandakan alur alur pencerahan dari
masa renaissance Prancis sempat menyentuh perspektif kesultanan Aceh. Buku
tersebut dihadiahkan oleh Thomas Forrest dalam kunjungannya ke Aceh pada tahun
1784. Tidak hanya itu, Sultan juga diketahui memiliki ketertarikan
dengan teknologi militer yang saat itu mulai banyak dikembangkan oleh
Barat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Aceh, Sultan Muhammad Syah
mengangkat orang Eropa untuk mengomandani kapal perangnya.
ada sejak tahun 1688, perubahan pandangan terhadap Eropa barangkali semakin
terbentuk ketika masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah antara tahun 1781
hingga 1795. Ia tercatat sebagai seorang Sultan yang mampu berbahasa
Prancis dan Portugis. Ia juga dapat membaca dan mengerti bahasa Arab. Buku yang ditulis
oleh Voltaire, seorang novelis satiris Prancis yang terkenal pernah
disuguhkan dan dibaca oleh Sultan. Ini menandakan alur alur pencerahan dari
masa renaissance Prancis sempat menyentuh perspektif kesultanan Aceh. Buku
tersebut dihadiahkan oleh Thomas Forrest dalam kunjungannya ke Aceh pada tahun
1784. Tidak hanya itu, Sultan juga diketahui memiliki ketertarikan
dengan teknologi militer yang saat itu mulai banyak dikembangkan oleh
Barat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Aceh, Sultan Muhammad Syah
mengangkat orang Eropa untuk mengomandani kapal perangnya.
Diketahui kemudian, tidak hanya Sultan yang mulai
mempekerjakan banyak orang Eropa di pemerintahannya, keluarga kerajaan pun,
terutama yang terkoneksi dengan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung
Malaya mempekerjakan komandan Eropa sekaligus beberapa kru dengan kemampuan
militer untuk memasok persediaan lada dipelabuhan-pelabuhan Aceh. Barangkali
ini disebabkan oleh begitu tidak amannya situasi perairan Aceh
masa itu.
mempekerjakan banyak orang Eropa di pemerintahannya, keluarga kerajaan pun,
terutama yang terkoneksi dengan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung
Malaya mempekerjakan komandan Eropa sekaligus beberapa kru dengan kemampuan
militer untuk memasok persediaan lada dipelabuhan-pelabuhan Aceh. Barangkali
ini disebabkan oleh begitu tidak amannya situasi perairan Aceh
masa itu.
Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Jauhar al
Alam Syah. Saat ayahnya meninggal, ia diketahui masih berumur terlalu muda
untuk menjadi raja. Tahun 1805, ketika ia genap berumur 16 tahun, ia baru
dinobatkan secara resmi sebagai Sultan. Saat Sultan Jauhar memimpin, Taring
taring Inggris telah menancap kuat terutama diperiaran Barat yang tidak hanya
melingkupi Meulaboh tapi juga Singkil, Susoh, Tapus, dan Meukek, hasil dari
perseteruan perwakilan kesultanan Aceh di sana dengan Inggris, pengkhianatan
Melayu, dan kealpaan kuasa Sultan yang dipegang sepenuhnya oleh
pemangku pemangku pemerintahan dari kalangan uleebalang dan orang kaya.
Alam Syah. Saat ayahnya meninggal, ia diketahui masih berumur terlalu muda
untuk menjadi raja. Tahun 1805, ketika ia genap berumur 16 tahun, ia baru
dinobatkan secara resmi sebagai Sultan. Saat Sultan Jauhar memimpin, Taring
taring Inggris telah menancap kuat terutama diperiaran Barat yang tidak hanya
melingkupi Meulaboh tapi juga Singkil, Susoh, Tapus, dan Meukek, hasil dari
perseteruan perwakilan kesultanan Aceh di sana dengan Inggris, pengkhianatan
Melayu, dan kealpaan kuasa Sultan yang dipegang sepenuhnya oleh
pemangku pemangku pemerintahan dari kalangan uleebalang dan orang kaya.
Meneruskan impian sang Ayah, Sultan Jauhar al Alam tercatat
mempu berkomunikasi dengan Eropa secara langsung tanpa perantara seorang
penterjemah. Ia juga diketahui sempat mengabdi dikapal ‘Nonsuch’ untuk
mempelajari bakat-bakat navigasi. Ia juga melanjutkan memperkerjakan orang
Eropa sebagai penasehat.
mempu berkomunikasi dengan Eropa secara langsung tanpa perantara seorang
penterjemah. Ia juga diketahui sempat mengabdi dikapal ‘Nonsuch’ untuk
mempelajari bakat-bakat navigasi. Ia juga melanjutkan memperkerjakan orang
Eropa sebagai penasehat.
Motor Oposisi yang
Menghilang
Menghilang
Saya tidak bisa menyebutkan bahwa Keterkaitan dengan
Eropa ini menjadi satu satunya alasan perlawanan uleebalang dan orang
kaya kala itu. Tidak menutup kemungkinan bahwa ada alasan lain dimana
kesultanan berlaku dzalim dan lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya yang menyebabkan
pemberontakan-pemberontakan ini menyebar seperti api yang semakin
menjalar di sepanjang abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19.
Eropa ini menjadi satu satunya alasan perlawanan uleebalang dan orang
kaya kala itu. Tidak menutup kemungkinan bahwa ada alasan lain dimana
kesultanan berlaku dzalim dan lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya yang menyebabkan
pemberontakan-pemberontakan ini menyebar seperti api yang semakin
menjalar di sepanjang abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19.
Catatan-catatan yang terekam ini menjelaskan bahwa
benar ada peralihan perspektif kesultanan Aceh. Masa Peralihan biasanya selalu
diikuti dengan masa adjustasi atau adaptasi dari sistem lama pada sistem baru
dimana lebih banyak memihak pada keuntungan kesultanan dan kroni-kroninya saja
tapi tidak mengindahkan keuntungan setara dengan yang lain.
Hal ini juga dikuatkan dengan realita melemahnya peran ulama dalam kesultanan
setelah wafatnya Syeikh Abdurrauf al Singkili. Hingga abad ke 19 pun tidak begitu
terdengar ulama yang punya pengaruh lebih besar dari pada Sultan dan
uleebalang.
benar ada peralihan perspektif kesultanan Aceh. Masa Peralihan biasanya selalu
diikuti dengan masa adjustasi atau adaptasi dari sistem lama pada sistem baru
dimana lebih banyak memihak pada keuntungan kesultanan dan kroni-kroninya saja
tapi tidak mengindahkan keuntungan setara dengan yang lain.
Hal ini juga dikuatkan dengan realita melemahnya peran ulama dalam kesultanan
setelah wafatnya Syeikh Abdurrauf al Singkili. Hingga abad ke 19 pun tidak begitu
terdengar ulama yang punya pengaruh lebih besar dari pada Sultan dan
uleebalang.
Resistansi-resistansi melawan pemerintahan dzalim ini terus
berlanjut hingga abad ke-19. Ketika Sutan Ibrahim mansur Syah berhasil duduk
ditampuk kekuasaan, ia membawa gelombang lain dimana ikatan dengan
penguasa-penguasa Muslim dihidupkan kembali dan kedua kelompok diatas tercatat tidak melakukan
pemberontakan signifikan terhadap kesultanan.
berlanjut hingga abad ke-19. Ketika Sutan Ibrahim mansur Syah berhasil duduk
ditampuk kekuasaan, ia membawa gelombang lain dimana ikatan dengan
penguasa-penguasa Muslim dihidupkan kembali dan kedua kelompok diatas tercatat tidak melakukan
pemberontakan signifikan terhadap kesultanan.
Sepanjang abad ke-19, peran kedua kelompok diatas tidak bisa
diabaikan meskipun uleebalang and orang kaya saat itu telah menunjukkan
perpecahan antara keberpihakan dengan Eropa atau kesultanan. Namun ketika
Belanda mengikrarkan perang terhadap kesultanana Aceh pada tahun 1873,
majoritas Uleebalang memberikan dukungan langsung atau tidak langsung
meskipun pada tahun tahun akhir perjuangan, jumlah mereka disisi Belanda kian
meningkat.
diabaikan meskipun uleebalang and orang kaya saat itu telah menunjukkan
perpecahan antara keberpihakan dengan Eropa atau kesultanan. Namun ketika
Belanda mengikrarkan perang terhadap kesultanana Aceh pada tahun 1873,
majoritas Uleebalang memberikan dukungan langsung atau tidak langsung
meskipun pada tahun tahun akhir perjuangan, jumlah mereka disisi Belanda kian
meningkat.
Mempertahankan pandangan dan hidup dibawah keadaan perang selama
lebih dari 40 tahun bukanlah hal yang mudah, apalagi ketika Belanda
berjanji penaklukkan Aceh tidak akan menghalangi praktek Agama Islam
sebagaimana kepercayaan terhadap hak beragama sesuai keyakinan masing masing
menjadi sebuah trend bagi pemerintahan kolonial masa itu. Uleebalang dan orang
kaya yang juga memahami ilmu agama dan hampir selalu didampingi oleh
ahli agama kebanyakannya memilih melanjutkan perjuangan meskipun ada beberapa
kelompok yang ‘on and off’ menyatakan takluk pada Belanda atau
mendukung sepenuhnya Aceh diambil alih pemerintahannya oleh Belanda. Dalam
perang ini pula, uleebalang dan orang kaya yang benar benar
berpengaruh banyak yang tewas. Perang tidak membiarkan
mereka meninggalkan legasi apapun kecuali barangkali harta berupa tanah dan
keturunan yang tidak sempat mencicipi pembaharuan pengetahuan. Artinya
perang ini menjadikan Aceh tertinggal dengan perkembangan dunia masa itu,
apalagi perkembangan teknologi yang secara terus menerus dilahirkan
oleh Barat. Atau barangkali perang ini pula yang menyebabkan Aceh
enggan dengan apa yang dibawa dari Barat.
lebih dari 40 tahun bukanlah hal yang mudah, apalagi ketika Belanda
berjanji penaklukkan Aceh tidak akan menghalangi praktek Agama Islam
sebagaimana kepercayaan terhadap hak beragama sesuai keyakinan masing masing
menjadi sebuah trend bagi pemerintahan kolonial masa itu. Uleebalang dan orang
kaya yang juga memahami ilmu agama dan hampir selalu didampingi oleh
ahli agama kebanyakannya memilih melanjutkan perjuangan meskipun ada beberapa
kelompok yang ‘on and off’ menyatakan takluk pada Belanda atau
mendukung sepenuhnya Aceh diambil alih pemerintahannya oleh Belanda. Dalam
perang ini pula, uleebalang dan orang kaya yang benar benar
berpengaruh banyak yang tewas. Perang tidak membiarkan
mereka meninggalkan legasi apapun kecuali barangkali harta berupa tanah dan
keturunan yang tidak sempat mencicipi pembaharuan pengetahuan. Artinya
perang ini menjadikan Aceh tertinggal dengan perkembangan dunia masa itu,
apalagi perkembangan teknologi yang secara terus menerus dilahirkan
oleh Barat. Atau barangkali perang ini pula yang menyebabkan Aceh
enggan dengan apa yang dibawa dari Barat.
Melalui periode ini juga Belanda secara perlahan menggantikan
sistem federal Aceh kepada sistem feudalisme yang diberikan
kewenangannya kepada uleebalang uleebalang yang menyatakan setia
kepada rejim kolonial. Perkembangan ini menuntun pada menyurutnya fungsi
uleebalang sebagai kepada adat dan penegak ilmu-ilmu agama. Sebaliknya mereka
memangku peran ‘juragan’ yang hanya mengelola tanah yang diberikan
Belanda dan mengaplikasikan aturan aturan dagang dan pajak yang diberikan
Belanda, tanpa ‘dicelomoti’ dengan nilai nilai keyakinan. Secara alami,
dikotomi fungsi uleebalang secara langsung berpengaruh pada kemusnahan sistem
pemerintahan tradisional Aceh. Tata Kesultanan Aceh telah timpang. Peran dan
eksistensi Kelompok ini semakin hilang secara berangsur dalam dekade
selanjutnya.
sistem federal Aceh kepada sistem feudalisme yang diberikan
kewenangannya kepada uleebalang uleebalang yang menyatakan setia
kepada rejim kolonial. Perkembangan ini menuntun pada menyurutnya fungsi
uleebalang sebagai kepada adat dan penegak ilmu-ilmu agama. Sebaliknya mereka
memangku peran ‘juragan’ yang hanya mengelola tanah yang diberikan
Belanda dan mengaplikasikan aturan aturan dagang dan pajak yang diberikan
Belanda, tanpa ‘dicelomoti’ dengan nilai nilai keyakinan. Secara alami,
dikotomi fungsi uleebalang secara langsung berpengaruh pada kemusnahan sistem
pemerintahan tradisional Aceh. Tata Kesultanan Aceh telah timpang. Peran dan
eksistensi Kelompok ini semakin hilang secara berangsur dalam dekade
selanjutnya.
bersambung…
Telah terbit sebelumnya di Koran Serambi Indonesia.